Jakarta, Mambruks.com-Pengamat masalah Papua, Frans Maniagasi menyebut, Mess Cenderawasih di Jalan KH Mas Mansur Tanah Abang Jakarta Pusat dan beberapa mess seperti di Kepu Selatan, Kali Baru dan Tanah Tinggi, yang juga berlokasi di Jakarta Pusat, memiliki nilai historis politik yang tak dapat dipisahkan dengan proses penyatuan Irian Barat (Irian Jaya) atau Papua dengan NKRI. Oleh sebab itu, kata dia, kalau kini akan dilakukan pengosongan oleh pihak pemerintah jangan lakukan dengan semena-mena.
”Kalau hendak mess itu oleh pihak Pemda Papua, maka lakukanlah dengan dialog. Jangan semena-mena mengerahkan Satpol PP dari Pemda DKI dan Papua. Ingat di mess itu tinggal sekitar 1.000 orang. Mereka adalah anak cucu pejuang integrasi Papua ke Indonesia. Jangan seenaknya gusur seolah tak menghargai jasa nenek moyang mereka kepada Indonesia,” kata Frans dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (26/10).
Menurut Frans, asal-usul mess mess Cenderawasih dan mess berbgai mess Papua lain di Jakarta itu berasal dari pasca proses penyatuan Irian Barat di Jalkarta. Mess itu dahulu dihibahkan oleh Presiden RI Ir Soekarno atas nama negara.
”Maka, sekali lagi saya ingatkan, kalau hari ini ada upaya Pemerintah Provinsi Papua untuk menggusur mess dan dialih fungsikan menjadi lokasi bisnis oleh investor yang akan memanfaatkan lahan tersebut maka sebaiknya dipikirkan dan dipertimbangkan nilai – nilai historis politiknya itu,” ujarnya.
Baca Juga: Warga Papua Resah, Disuruh Angkat Kaki dari Mess Cendrawasih Jakarta
Artinya, demikian Frans, bukan menggusur tempat yang memiliki nilai sejarah perjuangan sebagai bagian dari pembebasan Irian Barat semata – mata karena kepentingan kapitalisme hanya untuk memperoleh keuntungan dan dibagikan kepada Pemda Provinsi Papua guna menambah kas daerah, maka tanpa disadari juga atas nama negara telah menggusur nilai-nilai perjuangan dan kebangsaan.
“Bila hendak al itu juga berdimensi melakukan penggusuran mess Cenderawasih di Tanah Abang perlu menjadi pemikiran dan pertimbangan kita bersama terutama pihak-pihak terkait,” katanya.
Frans lebih lanjut mengatakan, buki bahwa mess itu terkait dengan soal eksistensi sejarah integrasi Papua ke Indonesia ini ditunjukkan dengan prasasti yang menandai peresmian mess Cenderawasih tersebut. Di prasasti itu ada kalimat: Dipersembahkan kehadapan Rakyat Indonesia yang berasal dari Irian Barat. oleh Sekretariat Kordinator Urusan Irian Barat Wakil Perdana Menteri Sutjipto ( Jakarta, 17 September 1964).
“Perlu diketahui bahwa kantor Sekretariat Bersama Urusan Irian Barat ( Sekber) yang saat itu ternyata bertempat di kawasan yang sekarang dijadikan ibu Megawati Soekarnoputri sebagai Kantor DPP PDIP dijalan Diponegoro Menteng Jakarta Pusat,” kata Manigasi kembali.
Menurut dia, tugas dan fungsi dari kantor Sekber Irian Barat pada masa itu adalah menyeleksi setiap orang yang akan bertugas ke Papua melalui proses seleksi dan skrening yang selektif dan ketat. Orang-orang yang didatangkan dari luar Papua selain sesuai kebutuhan dan tapi juga memiliki profesionalisme dan berintegratas untuk bekerja dan melayani di Papua.
Baca Juga: Gelaran Festival Danau Sentani 2022 Dimeriahkan oleh 20 Sanggar Budaya Papua
Kala itu, ungkap Manigasi, tenaga-tenaga kerja itu seperti guru, pegawai negeri, dokter, perawat, dan banyak lagi tenaga-tenaga sukarelawan yang benar-benar hendak bekerja dan mengabdi di Papua. Sebaliknya mess mess yang dihibahkan oleh Presiden Soekarno tidak hanya diperuntukkan untuk para pejuang tapi juga orang-orang Papua yang ditempatkan bekerja dikantor-kantor kementerian termasuk para pemuda dan pelajar yang memperoleh tugas belajar di Jakarta dan di kota-kota studi lain di Jawa.
“Jadi pemerintahan Presiden Soekarno menanamkan dan menumbuhkan rasa kebangsaa dalam rangka nation building ke Indonesiaan baik bagi Orang – orang Papua maupun masyarakat Indonesia terhadap Papua atau Irian Barat pada awal integrasi.”
Dalam konteks itu, kata Maniagasi, yakni diawal penyatuan Papua-Presiden Soekarno dan Pemerintahannya benar-benar menunjukan niat dan perhatian yang serius dan sungguh-sungguh kepada Orang Papua, terlepas dari ada yang berpendapat lain dalam merespons politik Soekarno.
“Jadi mess Cenderawasih itu dapat dilihat dari dua perspektif yaitu simbolik sebagai lambang yang tak hanya dipandang semata – mata dari aspek fisik dan asset bangunannya yang hari ini hendak ditransaksionalkan dan dikomersialkan oleh Pemerintah Provinsi Papua dalam rangka upaya menambah pundi pundi kas daerah (APBD) saja,” tegasnya.
Pemerintah Provinsi Papua mesti membuka ruang dialog
Melihat kenyataan itu, ungkap Maniagasi, alngkah eloknya jika Pemerintah Provinsi Papua yang hendak menjual asset mess Cenderawasih itu membuka ruang – ruang dialog dengan penghuni mess dan sekaligus memberikan win – win solusi bagi penghuninya yang nota bene adalah masyarakat Papua sendiri. Apalagi, para penghuni mess telah mendiammnya selama turun temurun, yakni sudah mencapai tiga generasi.
”Maka bila akan digusur, lakukanlah dengan penuh kedamaian. Berikan penghuni jaminan tempat tinggal yang layak dan memadai. Calon investor misalnya dapat membangun rumah susun atau perumahan yang layak huni,” katanya.
Selain itu, lanjut Frans, tunjukan sikap bahwa Pemda Provinsi Papua mampu menyelesaikan permasalahan rumah tangganya sendiri dengan masyarakatnya tanpa menggunakan cara – cara ancaman dan kekerasan. Apalagi kasus ini berada di pusat ibu kota negara Jakarta. Perlu diingat juga bahwa mess Cenderawasih dan mess Papua lainnya di ibu kora adalah asset negara.
“Saya hanya mengingatkan jangan karena kepentingan pragmatisme, komersialisasi dan ingin menambah dana dikas daerah, Pemda Provinsi Papua mengorbankan rakyatnya ( penghuni mess) sendiri,” tandas Frans Maniagasi.