Opini Oleh : Ferdy Hasiman
(Peneliti Energi pada PT. Alpha Research Database)
Sumber Daya Mineral (SDM) sejenis, nikel telah menjadi primadona global-nasional setelah negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Cina dan Eropa mulai mendorong kebijakan mobil pengembangan mobil listrik (dari bahan baku nikel) untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Indonesia sebagai negara penghasil nikel terbesar dunia (berkontribusi 27 % terhadap nikel dunia) mendapat berkah dari perubahan paradigma kebijakan di tingkat global ini. Berdasarkan data Badan Geologi, cadangan nikel terkira Indonesia mencapai 6,5 miliar ton per tahun 2019. Cadangan nikel terbesar Indonesia tersebar di tiga daerah, mulai dari Sulawesi Tenggah/Sulawesi Tenggara, Halmahera/Maluku sampai Papua.
Tak mengherankan jika raja-raja nikel dunia mengincar daerah-daerah penghasil nikel terbesar Indonesia. Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara adalah daerah penghasil nikel terbesar di tanah air. Dua daerah ini adalah rumah dari korporasi nikel lokal-global. Daerah-daerah, seperti Morawali, (Sulawesi Tengah), Konawe dan Bombana (Sulawesi Tenggara ) dalah ruang operasi perusahaan tambang besar, seperti PT Vale Indonesia (Brasil), Bintang Delapan dan Sulawesi Mining Investment.
Vale Indonesia misalnya, memproduksi 275.000 ton nikel akhir tahun 2014 dengan produksi terbesar dari Sorowako. Sementara, Sulawesi Mining Investment berencana membangun smelter di Morowali dengan kapasitas 300.000 ton ferronickel per tahun, PT Indonesia Guang Ching Nickel akan mengoperasikan smelter nikel dengan kapasitas produksi sebesar 600.000 ton per tahun, Indonesia Tsingshan Stainless Steel memproduksi 300.000 ton ferronickel per tahun. Jiangsu Delong Nickel Industri Co Ltd berencana berinvestasi senilai US$5 miliar untuk Konawe Industrial Park dan berharap memproduksi 600.000 ton ferronickel per tahun.
Sementara di Halmahera dan Maluku, raksasa tambang global, seperti Eremet (Prancis) dan Tshingshan Group sudah lama mengembangkan pabrik smelter berkapasitas di atas 500.000 matrik ton feronikel per tahun dengan investasi di atas 1 miliar dolar. Daerah-daerah yang menjadi pusat nikel ini menjadi sangat ramai karena jutaan pekerja tambang asing-lokal menyerbu daerah itu.
Yang menarik adalah Papua. Meskipun Papua adalah daerah penghasil nikel ketiga terbesar di Indonesia dengan total cadangan nikel terkira 0,6 miliar ton, namun tak satupun perusahaan-perusahaan asing bergairah mengejar daerah itu. Perusahaan-perusahaan Tiongkok seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan Tshingsang Group yang dianggap perusahaan paling ekspansif menahan diri mencari biji nikel ke Papua dan Papua Barat. Perusahaan tambang BUMN, seperti PT Aneka Tambang Tbk juga memang gencar mencari konsensi di daerah nikel. Namun, ANTM hanya mengembangkan investasi pabrik smelter di Pomala dengan kapasitas 13.500 matrik ton feronikel per tahun dan investasi pabrik smelter nikel di Halmahera Timur dengan total produksi 27.000 matrik ton per tahun. Sementara, Papua diabaikan begitu saja oleh perusahaan tambang BUMN. Pertanyaanya adalah mengapa raja-raja tambang tak berniat berinvestasi di Papua?
Banyak cerita dari pelaku tambang yang berhasil kami gali. Beberapa pelaku usaha mengatakan bahwa investasi nikel di Papua memang menjanjikan, tetapi biayanya sangat tinggi, karena eskalasi konflik Papua sangat tinggi. Pelaku tambang katanya tak berani berinvestasi di daerah yang eskalasi konflik tinggi, karena itu dianggap sebagai investasi rugi. Mana biaya lingkungan hidup, pungutan liar, biaya keamanan dan seterusnya. Itu semua membebani investor dalam berinvestasi.
Selain eskalasi konflik tingggi, struktur kepemilikan tanah di Papua membingungkan investor. Klaim hak milik pribadi dan hak milik komunal sangat tinggi dan sangat menggangu investor. Di Papua menurut mereka, klaim tanah adat dan hak ulayat sangat tinggi. Klaim-klaim seperti itu belum ada kejelasan dari pemerintah daerah. Itu menyebabkan ketidakpastian dan membuat investor tidak nyaman berinvestasi di Papua.
Perusahaan-perusahaan nikel dari negara-negara maju, seperti Tiongkok memang terkenal sebagai pekerja cepat. Kerja cepat tanpa dibarengi dengan birokrasi cepat dan berbagai masalah berbelit di daerah membuat mereka mengurung niat masuk ke Papua. Jika Pemerintah daerah Papua menyadari hal ini, sudah semestinya pemerintah mengevaluasi segala macam regulasi dan tata hukum adat yang membuat investasi terganggu. Klaim hak milik komunal harus sudah mulai dipikirkan dan langkah-langkah konkrit apa yang harus dikerjakan agar investor percaya dengan Papua. Tanpa melakukan hal berarti, investasi akan sangat sulit masuk ke Papua. Dan bukan tidak mungkin, hasil pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Elon Musk di Amerika Serikat beberapa waktu lalu ikut mendorong orang terkaya di dunia tersebut untuk melirik potensi Nikel yang ada di tanah Papua.