Oleh
Vina Cintya Lestari, Veren Vinia Sandra, Floretha gavrilla (Mahasiswa Prodi Fakultas Hukum Tahun 2022 Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
Dunia sepak bola Indonesia berkabung. Laga Arema FC VS Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022 lalu berakhir tragis setelah menewaskan 131 orang akibat kericuhan setelah pertandingan.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan, pihak kepolisian sedang melakukan investigasi mendalam dan tidak akan segan-segan melakukan penindakan terhadap siapa pun pihak yang dianggap bertanggung jawab.
Polisi hingga kini telah menetapkan enam tersangka dalam insiden tersebut. Mereka adalah Direktur Utama PT LIB Ahkmad Hadian Lukita, Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, dan Security Officer Suko Sutrisno, serta tiga orang personel Polri. Keenam tersangka Kanjuruhan dikenai Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP terkait kesalahan yang menyebabkan kematian.
Bagaimana kejadian naas ini harus terjadi? Berdasarkan hasil pendalaman Polri, beberapa data diperoleh. Awalnya, pada 12 September 2022, Panitia Pelaksana Arema FC mengirim surat kepada Polres Malang terkait permohonan rekomendasi pertandingan Arema FC vs Persebaya dilaksanakan 1 Oktober 2022 pukul 20.00 WIB. Namun Polres meminta panitia mengubah jadwal menjadi pukul 15.30 WIB karena pertimbangan faktor keamanan. Hal ini ditolak PT Liga Indonesia Baru (LIB) karena alasan masalah penayangan siaran langsung hingga kerugian ekonomi. Oleh karena itu, Polres menyiapkan 2.034 personel dari awal rencana 1.073 dan hanya suporter Aremania yang diperbolehkan hadir.
Laga antara Arema FC melawan Persebaya memang merupakan pertandingan besar yang sarat dengan perebutan gengsi bagi kedua tim maupun para pendukungnya. Laga tersebut menghasilkan skors 3-2 untuk kemenangan Persebaya. Siapa yang menyangka stadiun kebanggaan warga Malang tersebut akhirnya menjadi saksi bisu “peristiwa malang” dunia sepak bola?
Temuan lain menyebutkan, panitia Pelaksana Arema FC tidak menyiapkan rencana darurat hingga menjual tiket yang seharusnya hanya 38 ribu, tetapi dijual 42 ribu. Sementara itu di dalam stadion semakin banyak penonton yang masuk ke lapangan sehingga anggota pengamanan mengerahkan kekuatan dengan perlengkapan penuh, termasuk untuk mengamankan penjaga gawang Arema FC Adilson Maringa. Terdapat 11 personel menembak gas air mata ke tribun selatan dengan tujuh tembakan, tribun utara satu tembakan dan tiga tembakan ke lapangan.
Aparat Berlebihan?
Tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan memperlihatkan adanya brutalitas aparat keamanan dalam pengendalian penanganan kerusuhan penonton. Hal ini jelas bertentangan dengan aturan FIFA mengenai larangan penggunaan gas air mata yang tertuang dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations.Pada pasal 19 b) tertulis, ‘No firearms or “crowd control gas” shall be carried or used’. Bunyi aturan ini intinya senjata api atau gas untuk mengontrol kerumunan dilarang dibawa serta digunakan. Selain dilarang menggunakan gas air mata untuk mengendalikan massa di dalam stadion, ternyata petugas keamanan pertandingan juga dilarang mengenakan atribut yang memberikan kesan agresif seperti helm, masker penutup wajah dan tameng.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan tiga personel Polri memerintahkan penembakan gas air mata, yakni Komandan Kompi Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, Komandan Pleton Brimob Jatim Aiptu Budi Purnanto. Ada 11 personel yang menembak gas air mata di dalam stadion.
Dugaan Tindak Pidana?
Sampai saat ini Polri telah menetapkan enam orang tersangka. Patut dicatat, jumlah korban meninggal dunia dalam tragedy ini sangat besar, yang menjadikan Indonesia sebagai Negara yang memiliki sejarah kelam di dunia sepak bola setelah Peru (Mei 1964, menelan korban jiwa 318 orang).
Berdasarkan hasil olah TKP dan pendalaman, PT LIB ternyata tidak melakukan verifikasi terhadap stadion yang dipakai namun PT LIB menggunakan hasil verifikasi pada 2020. Pasal 359 dan 360 KUHP bunyinya: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Bunyi Pasal 360 KUHP:
(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Selain Pasal 359 dan 360 KUHP, para tersangka tragedi Kanjuruhan juga dijerat Pasal 103 dan Pasal 52 UU RI Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan. Bunyi Pasal 52 UU No. 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan: Penyelenggara kejuaraan Olahraga wajib memenuhi persyaratan teknis kecabangan, kesehatan, keselamatan, ketentuan daerah setempat, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan publik.
Bunyi Pasal 103 UU No. 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan:
(1) Penyelenggara kejuaraan Olahraga yang tidak memenuhi persyaratan teknis kecabangan, kesehatan, keselamatan, ketentuan daerah setempat, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Penyelenggara kejuaraan Olahraga yang mendatangkan langsung massa penonton yang tidak mendapatkan rekomendasi dari Induk Organisasi Cabang Olahraga yang bersangkutan dan tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam kasus ini ada beberapa pelanggaran yang dilakukan yaitu penjualan tiket melebihi kapasitas stadiun. Hal lain adalah ditolaknya usulan agar pertandingan Arema FC vs Persebaya digelar pada sore hari. Usulan polisi untuk percepatan gelaran laga ditolak oleh panitia pelaksana pertandingan, serta kepolisian secara serampangan dan menyalahi aturan FIFA menggunakan gas air mata ke tribun penonton. Padahal dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 bahwa dalam hal penggunaan kekuatan, ada tahap-tahap awal yang harus dilakukan aparat sebelum tiba pada keputusan untuk menembakkan gas air mata. Pertama, misalnya melakukan penggunaan kekuatan yang memiliki dampak pencegahan, tahap yang kedua, seharusnya perintah lisan atau suara peringatan, tetapi hal itu tidak dilakukan.
Investigasi Independen
Komnas HAM dalam investigasinya menyebut mayoritas penyebab meninggalnya 131 korban karena sesak napas dan gas air mata. Selain itu Ombudsman juga melakukan investigasi atas prakarsa sendiri sesuai pasal 7 huruf d UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman. Ombudsman melalui Perwakilan Jawa Timur melakukan pengumpulan data di lokasi kejadian atau pemeriksaan dokumen dan memandang ada potensi maladministrasi. Merujuk pada Regulasi Keselamatan dan Keamanan (RKK) PSSI 2021, Pasal 1 huruf 2 RKK disebutkan bahwa aturan tersebut dimaksudkan untuk memastikan keselamatan dan keamanan di dalam dan sekitar stadion, baik sebelum, selama, dan setelah pelaksanaan pertandingan atau kompetisi. RKK juga mengatur tentang upaya pencegahan atau mitigasi atas potensi terjadinya kerusuhan yang menimbulkan jatuh korban. Permasalahan yang dapat menjadi langkah awal pemeriksaan dugaan maladministrasi antara lain jumlah penonton yang melebihi batas rekomendasi, keberadaan layanan kedaruratan dan memastikan identitas penonton yang seharusnya disiapkan Panpel, serta mekanisme pengendalian massa oleh Kepolisian.
Pelajaran Berharga
Tragedi Kanjuruhan pasca pertandingan Arema FC versus Persebaya tidak akan terjadi jika polisi tidak bertindak arogan dan terburu-buru menembakkan gas air mata. Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Nico Afinta yang baru saja dicopotp dari jabatan Kapolda Jawa Timur menyebut SOP penanganan pihaknya sudah tepat. Di mana suporter disebutkan menunjukkan agresi yang membuat pihaknya meletupkan gas air mata. Hal ini tentu berseberangan dengan peraturan FIFA.
Sebagai pembelajaran, Crowd Management Plan harus ditunjukkan kepada pemerintah setempat guna mendapatkan izin penyelenggaraan suatu event. Tanpa Crowd Management Plan, besar kemungkinan tragedi-tragedi dalam perhelatan. Kemudian kesiapan infrastruktur fasilitas pertandingan di stadion yang mengacu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 26 Tahun 2008 harus sangat diperhatikan. Pengelola diminta melakukan kajian ulang risiko terhadap jumlah dan jalur evakuasi dengan lebar pintu masuk tribun yang berukuran ideal. Padahal Peraturan FIFA Pasal 74 tentang Safety & Security Officer sudah sangat mengutamakan dan memedulikan aspek K3.
Somasi Aremania Perlu Didukung
Menanggapi hal ini Somasi Aremania terhadap presiden, kapolri, ketum PSSI dan lainnya mempunyai landasan moral penting untuk kita dukung. Tentu saja somasi ini mewakili perasaan masyarakat kita semua. Karena terjadi pembantaian manusia dengan sadis di Kanjuruhan, yang dilakukan oleh aparat negara. Tindakan brutal aparat keamanan, baik Polri maupun TNI, dalam tragedi sepak bola Kanjuruhan adalah nestapa bagi wajah aparat keamanan di Indonesia. Aparat Polri atau TNI yang semestinya menjadi pelindung dan pengayom bagi masyarakat justru menjadi nestapa bagi masyarakat. Bahkan, polisi sebagai aktor keamanan negara tidak berdaya di depan pemilik modal. Misalnya, permohonan perubahan jadwal pertandingan demi keamanan oleh Polres Malang untuk dimajukan pukul 15.30 WIB ditolak PT LIB selaku pihak penyelenggara Liga 1 karena akan rugi dari sisi ekonomi dan bisnis.
Pray for Stadion Kanjuruhan ! Semoga para korban jiwa diberikan ketabahan dan kesabaran bagi keluarga, peristiwa ini menjadi hikmah bagi negara dan pengelola sepak bola untuk mengedepankan integritas moral. Pemerintah dan seluruh pihak terkait untuk melakukan evaluasi menyeluruh tentang pelaksanaan pertandingan sepakbola dan juga prosedur pengamanan penyelenggara. Maju sepak bola Indonesia, jangan biarkan sepak bola Indonesia kembali dengan tragedi serupa. Jangan ada lagi tragedi kemanusiaan seperti ini dimasa akan datang. Sportifitas, rasa kemanusiaan dan rasa persuadaraan bangsa Indonesia harus terus kita jaga bersama